Daun Rami kabarnya menjai incaran NATO |
Menurut karakteristiknya, Rami memiliki serat yang tergolong kuat, panjang dan baik untuk bahan baku tekstil karena memiliki struktur yang mirip dengan kapas. Bahkan sejak masa penjajahan Belanda sudah dibudidayakan sebagai bahan baku tekstil pengganti kapas. Seratnya diambil untuk diolah menjadi bahan baku tekstil, dengan kualitas yang baik jika dibandingkan dengan bahan baku serat alam lainnya.
“Daun, batang, dan akar tanaman Rami memiliki manfaat. Daunnya memiliki antioksidan yang setara dengan teh hijau. Batangnya bisa dijadikan serat, akarnya juga bisa dimanfaatkan sebagai benih,” ujar Asri di web resmi Unpad.
Tak heran jika beberapa waktu lalu passionmagz.com menulis satu tumbuhan yang paling dicari oleh NATO, yaitu tanaman Rami. Selain berkualitas tinggi, ternyata pakaian yang menggunakan tumbuhan rami ini dapat membantu para tentara saat bertugas.
Pasalnya, mereka yang menggunakan pakaian ini tidak dapat terdeteksi atau terlacak oleh radar musuh. Di radar, tentara yang menggunakan pakaian berbahan dasar Rami terlacak sebagai tumbuhan, bukan manusia. Bahkan kabarnya NATO memesan 30 ribu pakaian tentara yang berbahan dasar rami dari Indonesia.
Meski memiliki kualitas bagus, saat ini tanaman rami sulit berkembang. Padahal, Indonesia sudah berusaha mengembangkan tanaman ini sejak 20 tahun yang lalu. Penyebabnya adalah gagalnya sistem pengembangan agribisnis. Pengembangan masalah hanya diselesaikan kasus per kasus.
Menurut Asri, ada chaos antara petani dengan teknologi yang dikembangkan. Selama teknologi fokusnya hanya pada teknologi produksi seratnya saja tanpa melakukan pengembangan teknologi budidaya. Sehingga pada saat kebutuhan meningkat sistem budidaya tidak siap.
"Diversifikasi produk seratnyapun tidak dikembangkan pula, sehingga segmen pasarnya masih terlalu sempit,” jelas dosen program studi Biologi FMIPA Unpad ini.
Latar belakang masalah ini yang menjadi fokus penelitiannya. Penelitian awalnya terkait rami adalah menemukan teknologi yang murah dan ramah lingkungan untuk proses degumming, yakni mengisolasi mikroorganisme untuk mengganti bahan-bahan kimia dengan menggunakan jamur rhizopus sp. Ia mengklaim teknologi yang dikembangkannya ini jauh lebih murah dan ramah lingkungan.
Asri berharap dengan menghasilkan teknologi yang jauh lebih murah, tekstil rami bisa kembali bangkit. “Kita negara tekstil tapi 95 persen kapasnya itu impor, jadi kita hanya mampu sediakan bahan baku 5 persen. Seharusnya kita tidak usah impor lagi kalau bisa produksi serat rami,” kata Asri.
Sumber www.unpad.ac.id
“Daun, batang, dan akar tanaman Rami memiliki manfaat. Daunnya memiliki antioksidan yang setara dengan teh hijau. Batangnya bisa dijadikan serat, akarnya juga bisa dimanfaatkan sebagai benih,” ujar Asri di web resmi Unpad.
Tak heran jika beberapa waktu lalu passionmagz.com menulis satu tumbuhan yang paling dicari oleh NATO, yaitu tanaman Rami. Selain berkualitas tinggi, ternyata pakaian yang menggunakan tumbuhan rami ini dapat membantu para tentara saat bertugas.
Pasalnya, mereka yang menggunakan pakaian ini tidak dapat terdeteksi atau terlacak oleh radar musuh. Di radar, tentara yang menggunakan pakaian berbahan dasar Rami terlacak sebagai tumbuhan, bukan manusia. Bahkan kabarnya NATO memesan 30 ribu pakaian tentara yang berbahan dasar rami dari Indonesia.
Meski memiliki kualitas bagus, saat ini tanaman rami sulit berkembang. Padahal, Indonesia sudah berusaha mengembangkan tanaman ini sejak 20 tahun yang lalu. Penyebabnya adalah gagalnya sistem pengembangan agribisnis. Pengembangan masalah hanya diselesaikan kasus per kasus.
Menurut Asri, ada chaos antara petani dengan teknologi yang dikembangkan. Selama teknologi fokusnya hanya pada teknologi produksi seratnya saja tanpa melakukan pengembangan teknologi budidaya. Sehingga pada saat kebutuhan meningkat sistem budidaya tidak siap.
"Diversifikasi produk seratnyapun tidak dikembangkan pula, sehingga segmen pasarnya masih terlalu sempit,” jelas dosen program studi Biologi FMIPA Unpad ini.
Latar belakang masalah ini yang menjadi fokus penelitiannya. Penelitian awalnya terkait rami adalah menemukan teknologi yang murah dan ramah lingkungan untuk proses degumming, yakni mengisolasi mikroorganisme untuk mengganti bahan-bahan kimia dengan menggunakan jamur rhizopus sp. Ia mengklaim teknologi yang dikembangkannya ini jauh lebih murah dan ramah lingkungan.
Asri berharap dengan menghasilkan teknologi yang jauh lebih murah, tekstil rami bisa kembali bangkit. “Kita negara tekstil tapi 95 persen kapasnya itu impor, jadi kita hanya mampu sediakan bahan baku 5 persen. Seharusnya kita tidak usah impor lagi kalau bisa produksi serat rami,” kata Asri.
Sumber www.unpad.ac.id
0 Comments
EmoticonEmoticon